Kamis, 03 November 2022

Abu Sudja' Ulama Desa yang Bersahaja

  ABU SUDJA' ULAMA DESA YANG BERSAHAJA.

Oleh : Zahrotul Fitriyah, S.Pd

Kyai Abu Sudja' lahir pada tanggal 15 Juni 1905 di dusun Tawang Rejo desa Rembang Kepuh kecamatan Ngadiluwih kabupaten Kediri. Berdasarkan wawancara Penulis dengan salah satu putri Beliau, Kyai Abu Sudja’ adalah berpencaharian sebagai seorang petani. Tetapi dedikasinya terhadap dunia pendidikan agama sangat luar biasa. Ini terbukti dari cerita sang putri ragilnya dari isteri yang ketiga. Semua anak-anaknya dididik sendiri oleh Beliau dalam hal mengaji.

Riwayat hidupnya pada tahun 1941 sampai dengan tahun 1957, Beliau menjalani hidup sebagai seorang petani dan mengajar tanpa mendapat gaji atau boleh dikatakan mengajar dengan cuma-Cuma. Itu Beliau lakukan dengan tekun, sabar dan telaten.

Pada tanggal 09 Nopember 1956 hingga tanggal 05 Juli 1959, Kyai Abi Sudja’ menjadi anggota Dewan Konstituante Republik Indonesia. Beliau seorang Hafidzul Quran. Pendidikan Beliau pernah sekolah di AMS (SMA) / sederajat dan S1 Bachelor / sederajat. Beliau juga nyantri di Pondok Tebu Ireng Jombang selama lima tahun. Disamping itu juga pernah tholabul ilmi ke pesantren Siwalan Pandji di Sidoarjo. Bahkan Beliau mencari ilmu hingga ke tanah suci Makkah  selama kurang lebih tujuh tahun. Disana Beliau menghafal Al Quran 30 juz selama tujuh bulan saja. Betul-betul karomah yang diberi oleh Allah atas waktu yang cukup singkat untuk menghafal kitab suci-Nya. Bila saja otaknya  bisa dibuka, mungkin tertulis ayat-ayat Al Quran di sana. Andai hatinya bisa diterka, aka nada rekaman firman-firman Allah di sana. Di negei Hijaz ini, Beliau juga mempelajari kitab-kitab yang lain selain Al Quran. Belajar dari dari satu guru ke guru yang lain. Mungkin ini yang membuat jiwanya terpatri tak pernah lepas dari Allah dan rasul-Nya.

Kyai Abu Sudja’ sangatlah gagah. Beliau memiliki kuda yang ditungganginya kemana-mana.  Beliau beristeri tiga  orang dan memiliki tujuh belas orang putera puteri dari hasil pernikahannya. Walaupun demikian ketiga isteri dan anak-anaknya hidup rukun, damai dan tenteram. Rumah isteri kedua dan ketiga saling berhadapan. Pun rumah anak-anaknya dari ketiga isterinya juga berjajar berderet. Sekarang jalan gang yang menuju ke rumah Beliau dinamakan jalan Abu Suja’.

Pada jaman agresi militer kedua, Kyai sangatlah ditakuti Belanda. Beliau menjadi salah satu Kyai buronan Belanda, karena dianggap ekstrim atau berbahaya bagi Belanda. 

Pada jaman pemberontakan PKI tahun 1965, Beliau dan isteri serta anak-anaknya menjadi target sasaran PKI untuk dibunuh. Bahkan sudah disediakan lubang galian untuk kyai dan keluarganya ini. Walhasil, kyai selalu dikawal Banser dan Pemuda Ansor kemanapun pergi. Akhirnya gerombolan PKI sendirilah yang celaka dan masuk ke dalam lubang galian tersebut. Siapa menggali dia yang celaka sendiri.

Tidak hanya berhenti di situ  saja, upaya PKI untuk mengganggu keluarga Kyai. Perkebunan tebu milik haji Abu Sudja’yang waktu itu menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU kabupaten Kediri, dipanen habis-habisan oleh PKI. Tanaman tebu seluas tiga hektar itu ditebang PKI, BTI (Barisan Tani Indonesia) dan langsung menjualnya ke pabrik gula Ngadirejo. Karena Pemilik tanah sudah kenal dengan pimpinan pabrik, maka tebu yang dijual PKI itu uangnya diberikan kepada Abu Sudja’. Betapa marahnya PKI atas perlakuan ini. Mereka merasa terkecoh. 

Usaha PKI tidak pernah kehabisan akal. Ada saja tipu daya mereka. Mereka kemudian memagari lahan tebu yang masih tersisa dan mengklaim sebagai lahan BTI. Ketika merasa pemimpinnya terganggu, pemuda Ansor bangkit melawan PKI.bahkan para pendekar Pagar Nusa merasa tersinggung atas ulah PKI ini. Kemudian mereka berangkat mencabuti pagar lahan yang dibuat oleh BTI, dan mengganti dengan menancapkan bendera Ansor di sana. Karena jumlah Ansor lebih banyak, dan PKI sedikit, maka mereka lari tunggang langgang meninggalkan lahan yang sebelumnya dikuasainya.

Pernah pada suatu hari, dan ini kerap sekali setiap habis panen, rumah Kyai disatroni perampok. Suatu ketika rumah Kyai didatangi sekawanan perampok satu mobil. Mereka berniat menyandera Kyai, isteri dan anak-anaknya, dan akan menguburnya hidup-hidup.  Mereka mengikat Kyai di kursi, dan berhasil mengambil uang dan perhiasan yang ada. Kyai berkata,”Kamu ambil semua harta bendaku tidak apa-apa. Tapi jangan coba-coba kamu semua menyakiti anak dan isteriku!”

Perampok berhasil mengambil semua harta benda, tetapi selang beberapa hari kawanan perampok itu ditangkap polisi, bahkan sampai dilakukan rekonstruksi di rumah Kyai.

Kegiatan rutin Beliau setiap ramadhan adalah menjadi imam shalat tarawih dan witir di masjid Al Munawar. Masjid ini adalah hasil tanah wakaf abah beliau yaitu Mbah Munawar. Banyak warga kampung yang mengeluh dengan diimami Kyai Abi Sudja’, karena surah yang dibaca ketika tarawih adalah surah Al Baqarah dan surah-surah panjang lainnya.Bahkan tarawih selesai pada jam 11 malam. Selain itu, Kyai juga mempunyai jadwal pengajian rutin seminggu sekali di masjid Setono Gedhong, masjid yang dekat dengan makam Auliya Kediri yaitu Mbah Wasil.

Beliau juga termasuk salah satu Kyai pentashih kitab, tetapi belum diketahui putri ragilnya dari isteri yang ke tiga ini, kitab apa namanya. 

Beliau juga dikenal unik, tidak suka apabila dipanggil dengan julukan Pak haji atau Pak Kyai. “Jenengku iku Abu Sudja’, dadi aku ora seneng diembel-embeli ngunu kuwi.” kata Beliau kala itu.

Kunci keberhasilan Beliau adalah istiqamah mengaji dan juga bekerja. Jadi seimbang antara dunia dan akhirat. Meskipun tergolong piyantun yang lahir pada jaman kolonial, tetapi pemikiran Beliau sangat demokratis. Semua anak laki-laki dan perempuannya disekolahkan hingga tingkat tinggi menjadi mahasiswa, walaupun ada yang menolak tidak mau kuliah dan hanya mau belajar di pesantren saja.

Beliau memang tidak memiliki pesantren, tetapi suka mendidik keponakan-keponakan dan saudara-saudaranya yang jauh dan dekat dari pihak ketiga isterinya di rumah Beliau. Jadi suasana sama persis seperti di pesantren.

Sebelum meninggal Kyai mewakafkan tanah Beliau untuk kepentingan masjid dan madrasah. Pesan Beliau kepada anak cucu dan warga setempat untuk selalu merawat, menjaga tanah wakaf yang telah didirikan masjid dan madrasah, supaya hasilnya tetap baik dan bermanfaat. Beliau meninggal pada usia 85 tahun, dan dimakamkan di desa Tawang Rejo desa rembang Kepuh kecamatan Ngadiluwih.