Sabtu, 17 Juli 2021



Penulis : Zahrotul Fitriyah (Zahra Fitria)

Judul : HIDUP TAK BOLEH REDUP

BAB 4 : Titik Terendah Kehidupan


Pernahkah kamu merasa berada pada titik terendah kehidupanmu? Merasa seolah-olah dirimulah yang paling menderita di dunia ini? Jatuh pada jurang kehidupan yang paling dalam?


Sebuah episode mencekam, menegangkan sekaligus menguras tenaga, pikiran dan perasaan menghadapi tantangan hidup? Apalagi di masa pandemi ini, memang suatu keniscayaan bila hampir seluruh umat manusia merasakan hal yang sama.


Bagaimana tidak? Bila hampir semua lini sisi kehidupan terkoyak sudah. Seperti tak ada lagi harap. Kegiatan perekonomian macet, tidak bisa menghasilkan pundi-pundi keuangan lagi. Kalaupun toh ingin meraup untung dari hasil penjualan, juga tidak bisa maksimal. Udah deh, kayak fatal. Itu yang bergulat di dunia pasar, seperti Pak Ahmad.


Dunia pasar memang tidak bisa kita pungkiri, semua bergantung kepada konsumen. Daya beli konsumen tinggi, maka hargapun ikut melonjak, apalagi tidak adanya ketersediaan barang. Waah, bisa parah dah. Bila daya beli konsumen rendah, harga bisa jadi murah. Dan itu bila stok barang melimpah.


Tapi kalau dipikir, apakah mungkin masa pandemi ini stok bisa melimpah bila pengiriman barang dari luar mengalami penundaan kirim karena operasi di jalan untuk kendaraan juga banyak yang dirazia? Tapi kalau kebutuhan pasar bisa diakomodir oleh daerah sendiri, itu masih lumayan. Ini yang terjadi di pasar nyata. Belum tahu juga kalau harus menengok pasar saham, mungkin tetap berimbas kepada nominal per-sahamnya. Ahh, kalau mikir yang begini mah, bisa pusing sampai-sampai botak kepala.


Memang dunia itu sempit kali yaa? Artinya kita menyikapi dari satu sisi saja, tanpa mau berpikir ke sisi lain yang sebetulya bisa menjernihkan hati dan pikiran kita. Bu Hasanahlah orangnya. Seorang perempuan yang bisa dikatakan tegar menghadapi setiap ujian kehidupan. Tidak banyak menuntut kepada suaminya, menerima dengan ikhlas apa yang diterima serta bisa memberi dorongan kuat kepada Pak Ahmad untuk jalani hidup dengan sabar dan tawakkal.


Latihan urip soro, sudah dijalaninya dari kecil. Sehingga bila menjumpai terjalnya sandungan hidup, dia masih bisa berpikir jernih. Pengalaman belajar serta menuntut ilmu di pesantren jadi landasan kuat untuk bisa bertahan hidup sekaligus menjernihkan hati. Sehingga tidak sampai khilaf ketika cobaan melanda.


Kalau kita pikir, sebetulnya berapa sih bayaran untuk tenaga honorer seperti dia di sekolah swasta? Gajinya nggak akan cukup untuk membayar dunia ini. Jangankan dunia, biaya pendidikan anak-anaknya saja kalau sudah tiba waktunya, kadang tidak ada apa yang harus dibayarkan. 


Kebutuhan sehari-hari bisa tercukupi, itu sudah sesuatu yang patut disyukuri untuk keluarga Bu Hasanah dan Pak Ahmad. Tidak ada kata lebih, sederhana itulah yang berkah. Kalau hidup untuk membayar gengsi demi sebuah prestise diri, pasti jatuhnya tidak akan membawa manfaat hakiki. Justru menjatuhkan diri ke kubangan kehidupan yang sedih.


Sebuah biduk rumah tangga memang membutuhkan seorang pemimpin keluarga yang hebat dan tangguh.Tetapi kehebatan dan ketangguhan seorang suami tidak akan ada artinya bila tidak didukung pasangan perempuan yang hebat pula. Keduanya harus saling menguatkan. Saling bekerja sama, tolong menolong satu dengan yang lain. Berdiskusi ketika ada masalah dan mencari solusi untuk keluar dari rumitnya cobaan hidup yang menghimpit.


Bu Hasanah memang sederhana, tetapi soal keyakinan hidup, kematangan berprinsip tidaklah sederhana. Dia memang perempuan kampung yang dari kecil hidup dalam kebersahajaan. Orang tua-nya hanya seorang guru sekaligus petani desa. Tetapi keinginannya untuk selalu menimba ilmu dalam hidup tidak  pernah pudar hingga dia memiliki anak-anak yang sudah besar dan dewasa.


Soal fisik rupa, Bu Hasanah juga tidak jelek. Bahkan semakin dipandang, semakin nampaklah  aura cantik-nya. Siapa yang pertama kali bertemu dengan-nya, kesan yang ada pastilah menilai orang yang sabar dan bijak.


Terhimpit pada masalah rumitnya hidup, sudah bukan barang baru buatnya. Keyakinan terdalamnya, barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, Dia yang akan mencukupi keperluan makhluk-Nya. Memiliki hati sebening embun, haruslah diasah. Diberi-Nya manusia dengan cobaan adalah sarana Allah meningkatkan derajat bagi orang yang bertaqwa. Meskipun manusia itu berada pada titik terendah kehidupannya.






Bersambung...