PEREMPUAN TANGGUH
Astuti menutup matanya rapat. Lelah fisiknya serta penat pikirannya, menanggung beban hidup yang harus di tanggungnya. Dia merasa tidak kuat lagi dengan apa yang menimpanya. Bulir bulir bening tanpa terasa membasahi pipinya dan terasa panas mengalir jatuh di kedua pipinya. Wajahnya kusut tidak lagi bercahaya. Tidak ada lagi rona bahagia, yang bisa buatnya bersuka cita seperti hari hari kemarin. Kedua tulang pipinya juga semakin tampak menonjol termakan kurusnya sang badan.
“Tuhan, bila ini takdir yang harus aku jalani,..aku rela menaggung semua ini. Asal Engkau selalu mendampingiku serta menolongku,” gumam Astuti lirih.
Di pandanginya putri bungsunya yang baru berumur 3 tahun, yang berbaring pulas di ranjang. Wajah yang begitu lugu tanpa dosa. Haruskah dia ikut merasakan derita yang aku rasakan. Ahh, tidak. Dia tidak boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi` Dia harus tetap ceria layaknya anak anak seusia sebayanya. Astuti membenahi selimut anaknya yang sudah mulai tidak rapi menyelimuti tubuhnya, karena gerakan tidurnya yang tidak karuan. Kemungkinan dia capek bermain dengan teman temannya sesiang tadi.
Dipandanginya langit langit kamar, matanya tidak jua mau terpejam. Astuti masih saja tidak percaya, mengapa Herman suaminya tega menikah lagi dan tanpa seijin darinya. Lebih tragis lagi, Astuti mengetahui kabar itu dari tetangganya yang setiap kali dia lewat di jalan selalu menggunjing dirinya dan suaminya. Hingga pada suatu ketika, Astuti menanyakan kabar tersebut dari Laily, teman tetangganya yang juga sahabat karibnya di Organisasi Fatayat NU dari dulu hingga sekarang dan sekaligus sepupu dari suaminya.
“Maaf ya mbak Lail, akuu…aku mau bertanya boleh kaan?” tanya Astuti gugup dan malu dengan suara yang bergetar.
“Iyaa mbak, ada apakah? Sepertinya kamu sedih banget. Ada yang bisa saya bantukah sahabatku?” tanya Laili
“Maaf, saya hanya ingin mengkonfirmasi tentang berita suami saya, apakah betul dia menikah lagi? Mbak Laily kan masih sepupu mas Herman juga?” Tanya Astuti penuh selidik.
“Beberapa minggu ini, nomornya tidak bisa di hubungi mbak, saya sedih, saya bingung, saya harus bagaimana mbak?” Mata Astuti mulai berkaca kaca, degup jantungnya kian kencang, ingin menumpahkan beban di hati yang sudah menggunung.
Laily berusaha untuk tidak terguncang dengan pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan Astuti. Dia harus bijak menyikapi dan tidak boleh terbawa emosi sahabatnya itu. Walau dia juga sangat tidak tega melihat kesedihan yang berat di rasakan Astuti. Dengan hati hati sekali dia mengabarkan serta menasehati Astuti.
“Dik, bersabar yaa. Ini ujian buat kamu dik. Laa yukallifu nafsan illaa wus’ahaa. Saya yaqin kamu kuat. Herman memang sudah menikah lagi dengan karyawan di pabrik barunya. Saya juga tidak habis pikir, apa maksudnya dia berbuat seperti itu. Sabar yaa, Allah akan mengganti semua kesedihan adik dengan kebahagiaan, yaqin yaa?” jelas Laily sambil merangkul tubuh Astuti erat.
Air mata Astuti tumpah, tangisnya pecah dengan suara parau. Deras mengalir air matanya menganak sungai. Dia membenamkan tubuhnya erat di pelukan kakak sepupunya, seakan menghiba ingin menumpah ruahkan segala rasa di dada. Dunia terasa gelap baginya, rasanya tak kuat menanggung seorang diri, apalagi ingat ketiga anaknya yang harus di hidupinya. Dia masih keras berpikir, setega itukah suaminya, sehingga harus menikah lagi.
Malam ini Astuti ingin tenang beristirahat. Lelah sekali memikirkan masalah ini, tapi tetap saja belum bisa memejamkan netranya. Ia kembali ingat pada dzat yang maha segalanya, yang menciptakan masalah dan maha mengurai masalah. Yaah, dia ingat pada Tuhannya. Hanya Allah yang memberinya kekuatan, bahwa dengan pertolonganNya dia mampu lalui ujian ini. Laa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘adziim. Dia memeluk erat putri bungsunya dalam dekapannya, mengelus rambutnya dan mencium keningnya sampai akhirnya dia sendiri terlelap dalam tidur pada saat sudah tengah malam.
Sementara jauh di luar kota, Herman sedang bercengkerama dengan istri barunya.
“Rin, aku bahagia sekali bisa memilikimu. Kamu cantik, pintar dan pandai menyenangkan suami” Kata kata Herman mulai membuat Rini tersanjung.
“Ahh, mas Herman bisa saja. \saya jadi malu mas,” kata Rini dengan malu malu. Rini bersandar pada bahu Herman dan duduk berduaan di kursi bludru merah jambu di ruang keluarga sambil menonton acara TV. Tangan sebelah kiri Herman merangkul pinggang Rini dengan rangkulan mesra. Rini yang di nikahinya tampak sangat bahagia. Walaupun dia dinkiahi Sirri oleh Herman tanpa adanya buku nikah. Tapi secara agama itu sudah sah, bila sudah terpenuhi syarat dan rukunnya. Rupanya memang momen inilah yang di manfaatkan oleh Herman untuk menyunting Rini yang wajahnya imut dan manis itu.
Berawal dari setiap hari bertemu di pabrik baru, Herman terpikat dengan wajahnya yang anggun. Herman yang seorang mandor dan Rini seorang karyawan biasa. Entah apa yang berada di angannya, Dia seakan sudah lupa dengan istrinya yang telah susah payah, jatuh bangun di ajaknya berjuang, membesarkan ketiga anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang kedua orang tua dan biaya pendidikan untuk sekolah dan pesantrennya. Nisa, anak pertamanya kelas 3 MTsN di Jombang sekaligus mondok di sana. Ubay anak kedua kelas 6 MI dan mondok juga di pesantren di Jombang satu lokasi dengan kakaknya dan Hadija berusia 3 tahun. Dia pun juga tidak berterus terang kepada Rini bahwa dia sudah beristri dan beranak tiga. Dia hanya mengaku sebagai duda. Tapi karena sudah saling menyukai Rini juga percaya saja kepada Anang akan ketulusan sebuah cinta. Kini keduanya hanyut dalam rasa yang menggiringnya hingga tiba pada sebuah pintu pernikahan.
******
Hari beranjak pagi. Astuti sudah selesai menunaikan ibadah wajibnya dan mengakhirinya dengan doa munajah di hadapanNya. Meminta dengan sangat agar Tuhannya memberi kekuatan untuk bisa tegar hadapi kenyataan yang pahit sekalipun. Tidak pernah lupa juga, doanya selalu terpanjatkan untuk dua anaknya yang sekolah dan belajar di pesantren. Memohon semoga anak anaknya kelak di jadikan anak anak yang sholih sholihah dunia dan akhirat. Matanya masih sembab, semalam dia hanya tidur bebarapa jam saja. Eneginya masih tercurah memikirkan suaminya yang berminggu minggu tidak ada kabar dan tak kunjung pulang. Pun uang nafkah yang harus di terimanya juga tidak di transfer oleh Herman. Di hubungi via handphone juga tidak bisa. Pasrah sudah dia bersujud di hadapan Rabbnya. Tidak banyak yang harus dia lakukan selain pasrah dan menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah.
Astuti melepas mukena putihnya. Dia pegangi erat erat mukena itu, dia teringat lagi beberapa puluh tahun lalu, saat suaminya mengucapkan ijab qabul pernikahan di hadapan petugas KUA, kyai pengasuhnya dan abahnya sendiri. Serasa baru kemarin saja kejadian itu. Dan mukena yang di pakai itulah yang menjadi maharnya, dan dia berjanji dalam hatinya akan selalu menggunakan mukena itu untuk ibadah sholat berjamaah bersama suaminya.
“Sekarang kamu sudah tidak ada lagi disini Mas,…kamu tidak lagi menjadi imam dalam sholatku. Kamu sudah berbagi cinta dengan yang lain.” Gumam Astuti sedih.
Air matapun tak terkendalikan jatuh lagi basahi kedua pipinya. Astuti melipat mukenanya dan menggantungkannya di almari gantung di sudut kamarnya. Kini pandangannya beralih ke anaknya yang satu satunya menemaninya di rumah. Yaah Hadijah kecil yang manis yang jadi pelipur laranya.
“Sayaaang, Hadija bangun yaaa? Katanya ingin ikut umik ke rumah uti. Yuuk, bangun.” Ucap Astuti semangat membangunkan Hadija dengan memencet hidung Hadija.
Hadija mebuka kedua matanya pelan. Di liriknya umi yang berada di sampingnya sambil mengucek ngucek kedua matanya dengan jari jari kecilnya yang halus dan mungil.
“Ohh, iya mik..hari ini kita kerumah uti yaa? Hadija ikut kaaan…horeee” teriak Hadija dengan girang. “ Aku akan ketemu uti dan akung, yess!!!” Hadija semakin semangat.
“Nahh, yuk Hadija mandi dulu yaa..trus dandan yang cakep, Okkay?” Astuti menyemangati Hadija dengan senang.
“OK mik, aciyaaap”
Hari ini, Astuti memang berniat untuk silaturrahim kepada bapak ibu mertuanya. Dia ingin bermusyawarah tentang keadaan yang menimpanya. Dia tidak ingin berlarut larut dengan kesedihan. Dia ingin masalah yang menderanya segera diselesaikan dengan baik. Dia ingin meminta saran dan pertimbangan kepada kedua mertuanya. Karena merekalah yang selama ini menjadi tumpuan Astuti setelah kedua orang tuanya tiada.
Setelah selesai beberes, Hadija juga sudah rapi pergilah mereka dengan mengendarai scoopy classic warna coklat gelap. Hadija Nampak senang sekali dengan di gendong uminya di depan. Sambil memegang setir, Astuti menjalankan kendaraannya dengan kecepatan sedang, karena membawa Hadija di gendongannya. Jarak rumah Astuti ke rumah mertua sekitar 4 km. Selama perjalanan Astuti mengajak Hadija untuk selalu melantunkan sholawat. Jadi Hadija kecil senang sekali menyenandungkan sholawat dan suka bila di ajari sholawat.
Kurang lebih 40 menit, sampailah keduanya di rumah mertua. Di sambut dengan bapak dan ibu mertua, Astuti sungkem kepada keduanya. Hadija pindah ke gendongan yang kung nya sambil cipika cipiki ke pipi Hadija yang bulat seperti bakpao saja. Setelah beberapa minggu tidak bertemu, rasa kangen cucunya kini terobati. Setelah bercengkerama dengan cucunya kini bapak, ibu dan Astuti berkumpul di ruang tamu. Sementara hadija ikut tantenya bermain dengan anak tantenya itu.
Tidak bisa menahan tangis, Astuti menceritakan semuanya. Kedua mertuanya ikut terharu atas kesedihan yang dialami Astuti.
“Baiklah nak, emak dan bapakmu akan meminta pulang si Herman itu, biar nanti dia bertanggung jawab atas perbuatan yang dia lakukan padamu dan anak-anakmu. Nanti emak akan kabarkan kalo emak sakit, supaya dia bisa pulang dengan cepat.”kata-kata emak meyakinkan Astuti.
“Iya mak, saya menunggu keputusan dari mas Herman. Saya sudah siasp dengan segala resiko, mau di ceraikan ataupun harus menelan pil pahit kehidupan seandainya dia berpoligami.” jawab Astuti sedih
“Bagaimanapun juga kamu tetap anakku nduk, kamu sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Saya akan bertindak tegas kepada Herman, karena kalau sudah seperti ini masalahnya, sebagai orang tua yaa wajib untuk mengingatkan, watawaa shoubil haqqi watawaa shoubis shobr.” Bapak menimpali dengan bijak.
“Maturnuwun emak, bapak, saya menjadi sedikit lega setidaknya, sudah melepaskan kepenatan jiwa dan pikir saya selama ini…karena selama ini bapak dan emaklah yang mengajari saya untuk selalu bermusyawarah bila kita mengalami masalah hidup. Dan tidak baik bagi kondisi psikis saya dan anak-anak bila di biarkan berlarut-larut.” Astuti mengeluarkan uneg unegnya dengan lega.
“Kamu yang tabah ya nduk, sabar, sabar dan selalu sabar. Siapa yang senantiasa bersabar Allah akan selalu bersamanya.” Emak memeluk erat Astuti seakan ingin memberinya kekuatan dan mentranfer energi positif kepada Astuti.
Nggih mak, bapak…InsyaAllah saya akan selalu bersabar, walau hati saya tercabik-cabik harus menerima dan pasrah pada kenyataan taqdir ini, InsyaAllah saya kuat.” Mata bulatnya semakin basah karena derasnya air mata mengalir.
“Kamu boleh tinggal di sini sementara As, supaya kamu bisa terhibur di sini. Bisa bertemu setiap saat dengan orang orang yang sayang kepada kamu dan anak-anakmu. Bapak emakmu ini selalu menyayangi keluargamu sampai kapanpun.” Bapak juga berusaha menguatkan hati Astuti yang dia sangat mengkhawatirkan hati dan perasaan perempuan.
Enggih bapak, emak…saya beruntung memiliki bapak dan emak yang selalu sayang pada kami, Saya ingin rehat dulu nggih, Saya ijin dulu ke kamar nggih?” Astuti sungkem kepada kedua mertuanya dan menuju ke kamar.
Astuti memasuki kamar yang dulu menjadi kamar pengantin barunya. Dikamar inilah dia memadu cinta untuk pertama kalinya menikmati malam pertamanya. Kamar ini masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Dipan ukir dari kayu jati, lemari baju dari aluminium dan kaca masih berdiri di pojok kamar ini. Meja rias dan kursi kecil juga masih saja ada di dekat lemari baju. Gordin satin berwarna merah hati juga masih sama, menghiasi jendela kaca hias bermotif gambar bunga dan kupu-kupu. Dia melongokkan wajahnya menuju jendela itu, dan melihat di luar kamar masih tertata rapi bunga-bunga kamboja merah jambu, mawar yang sedang merekah warna warni dengan indah. Apalagi di musim hujan ini, bunga-bunga itu seperti tersenyum kepadanya. Kini, dia ingin sekali melepas kepenatan dengan merebahkan punggungnya ke dipan ukir.
“Mas, aku akan tunggu engkau pulang. Aku ridha bila engkau memaduku. Tapi bila engkau minta ijin kepadaku. Apapun keputusanmu, aku sudah siap menerimanya. Semoga kamu ingat aku dan anak anakmu, ingat keluargamu.” Astuti betul betul sudah pasrah.
“Umiiiii,…umii…”suara cempreng Hadija menyadarkanku dari lamunanku.
“Hadijaaa, anak umi, hmmuuaah..sudah selesai bermainnya sayang?’ Tanya Astuti sambil mendaratkan ciuman sayang genmesnya.
“Sudah umi, kan sudah terdengar adzan tuuh, kan umi selalu bilang kalau ada adzan harus berhenti bermainnya, iya kan miii?” celoteh Hadija menggemaskan.
“Anak umi memang pintar dan sholihah, sekarang kita sholat berjamaah dulu yaa, sama yang kung dan yang ti, okay,..toss dulu..”
“Aciyaap mii,” Hadija senang sambil menempelkan tangan kanannya semangat bertemu dengan tangan uminya sebagai tanda tos.
Keduanya menuju mushola, berwudlu dan sholat berjamaah bersama keluarga bapak ibu mertuanya. Setegar hatinya seyaqin harapannya, Astuti tetap harus mampu melalui ujian ini. Dengan tetap menjalankan aktifitas seperti biasanya. Menjadi wonder woman. Apalagi di masa pandemi ini. Dia harus mampu menjaga iman dan imunnya dan anak anaknya. Menjalankan usaha online mandiri, aktif di organisasi, menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya harus tetap dia jalankan.. Dan penantiannya akan keputusan suami yang di cintainya.Dia pasrahkan segalanya kepada Rabb yang mengatur hidupnya.